Laman

Senin, 31 Maret 2014

My Best Tweet Story 1

    Pakaian seragam sama dengan Bungkus Kado.




IDENTITAS

Sekarang kamu tak bisa asal tuduh. Lihat ini identitas! Mengambil tanpa ada kesepakatan dan syarat adalah mencuri. Sekarang kau tak bisa berbohong. Aku sudah memberikan. Ini buktinya! Kau tak bisa mengelak. Kau tak bisa fitnah lagi. Karena dia beridentitas. Keaslian itu terbukti dan memenuhi syarat. Lihatlah sekarang, dengan identitas ia menjadi saksi atas peristiwa tukar-menukar kita.

Identitas juga banyak ragamnya: warna, nomor, desain, waktu dan lain-lain. Seputar penjelasan identitas, peristiwa pertukaran terjadi oleh banyak nilai yang bervariasi identitasnya. Dalam ilmu matematika, identitas memang ada batasnya, jutaan bahkan miliyaran yang dipegang, tersimpan, maupun belum tercetak. Tanpa disadari orang tidak peduli dengan identitas. Maka dari itu pemalsuan pun terjadi. Sulit terlacak apabila belum meneliti identitas.

Sebetulnya identitas itu tidak terlalu penting. Karena benda tersebut mudah diberi dan mudah diterima. Beda dengan identitas kendaraan, tempat tinggal, surat-surat, kode komunikasi, dan benda berharga lainnya yang diperhatikan serius oleh pemilik. Identitas  pun ada di diri kita, segala serta makhluk hidup sekalian.

Bicara soal identitas, ada yang diputuskan sendiri loh. Seperti jati diri, nama dari orangtua, nama komunitas/grup, nama organisasi, kode, bahasa, apa saja buatan manusia yang disebutkan. Memang ada sembarang dan bukan tentang identitas. Nah kalo identitas dari aturannya ya bukan sembarangan. Dari jumlah banyak kadang ada kode cantik yang jadi koleksi. Aku orang nya agak berlebihan, usai transaksi ku potret deh identitas alat tukar. Habis itu ya ku hapus.  

Oh ya! Yang masa KTP-nya habis jangan lupa ke kelurahan ya. Ane juga belum nih hehehe…(masih menikmati masa ketampanan *cwitcepentin*).

PIRING KOSONG

Tadi makan apa?
Pertanyaan itu melahirkan perdebatan. Dini-dini lapar pun penasaran dengan pertanyaan itu. Kebenaran harus diungkapkan. Mari selidiki!

Sisa peristiwa siapa penulisnya? Peristiwa telah habis dan ditutur ulang. Banyak menerimanya sebagian protes. Tutur menjadi doktrin dini-dini.

Dari sisa diceritakan kisah, kisah? Bukan peristiwa? Perdebatan hal lalu, mematahkan kebiasaan. Peristiwa ini sudah berkerak. Mari kita diskusikan, dan jilat sisanya! Perang opini sungguh membuat ragu. Kalau tak percaya jilat sisanya!

Pembohong selalu berdalih, menjilati sisa sampai habis. Mengapa kita tak boleh menjilati sisa? Dasar pembohong! Terpaksa kami menjilati bekasmu juga. Jijik! Liur dan bekasnya itu tidak bisa menemukan keaslian peristiwa. Tak ada yang orisinil.

Mari bertanya kepada saksi yang sudah feses. Mereka bau, coklat kadang kuning. Feses bagaimana ceritanya? Seperti apa rupanya? Feses kenapa kau bau? Feses percayakah apa kata pembohong walau belum tentu bohong? Feses haruskah kujilati dirimu menahan jijik demi peristiwa?

Terlambat. Kalau pun pasca peristiwa, peristiwa pun dicerna. Mau ya muntah dan jilat muntahannya! Bukankah sama jijiknya meski masih bisa merasakannya? Terpaksa sama lendir-lendir dari perutnya. Masih untung belum terkontaminasi. Berhentilah berandai, sekarang yang dilihat adalah kosong dan feses.

Melacak peristiwa lalu belum tentu benar seratus persen. Saling jilat-menjilat atau mengekor para penjilat antar penjilat lain. Lebih jijik lagi para dini itu bertukar lidah. Belum lagi lain cara yakni memantau feses yang bau meneliti warna dan bentuknya. Kadang juga belum tentu asli karena terkontaminasi.

Meributkan kekosongan bisa membuat lapar. Apalagi harus menjilat feses. Daripada diributkan mari isi kekosongan dan cerna dengan baik.

Sekarang mari makan!