Tadi makan apa?
Pertanyaan itu melahirkan perdebatan. Dini-dini lapar
pun penasaran dengan pertanyaan itu. Kebenaran harus diungkapkan. Mari
selidiki!
Sisa peristiwa siapa penulisnya? Peristiwa telah habis
dan ditutur ulang. Banyak menerimanya sebagian protes. Tutur menjadi doktrin
dini-dini.
Dari sisa diceritakan kisah, kisah? Bukan peristiwa?
Perdebatan hal lalu, mematahkan kebiasaan. Peristiwa ini sudah berkerak. Mari
kita diskusikan, dan jilat sisanya! Perang opini sungguh membuat ragu. Kalau
tak percaya jilat sisanya!
Pembohong selalu berdalih, menjilati sisa sampai habis. Mengapa kita tak boleh menjilati sisa? Dasar pembohong! Terpaksa kami menjilati bekasmu juga. Jijik! Liur dan bekasnya itu tidak bisa menemukan keaslian peristiwa. Tak ada yang orisinil.
Mari bertanya kepada saksi yang sudah feses. Mereka bau,
coklat kadang kuning. Feses bagaimana ceritanya? Seperti apa rupanya? Feses
kenapa kau bau? Feses percayakah apa kata pembohong walau belum tentu bohong? Feses
haruskah kujilati dirimu menahan jijik demi peristiwa?
Terlambat. Kalau pun pasca peristiwa, peristiwa pun dicerna. Mau ya muntah dan jilat muntahannya! Bukankah sama jijiknya meski masih bisa merasakannya? Terpaksa sama lendir-lendir dari perutnya. Masih untung belum terkontaminasi. Berhentilah berandai, sekarang yang dilihat adalah kosong dan feses.
Melacak peristiwa lalu belum tentu benar seratus persen. Saling jilat-menjilat atau mengekor para penjilat antar penjilat lain. Lebih jijik lagi para dini itu bertukar lidah. Belum lagi lain cara yakni memantau feses yang bau meneliti warna dan bentuknya. Kadang juga belum tentu asli karena terkontaminasi.
Meributkan kekosongan bisa membuat lapar. Apalagi harus menjilat feses. Daripada diributkan mari isi kekosongan dan cerna dengan baik.
Sekarang mari makan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar